Skip to main content

Ketika kita kalah, maka kita kalah dalam proses berpolitik

Hari senin tanggal 28 Juli 2014 berkas dokumen gugatan Pilpres yang diajukan oleh tim hukum pasangan Capres-Cawapres nomor urut satu Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dinyatakan lengkap oleh Mahkamah Konstitusi. 
Dengan lengkapnya dokumen gugatan Pilpres 2014 tersebut, Tim Prabowo-Hatta berharap akan menang di Mahkamah Konstitusi atau MK. Demikian berita yang dirilis oleh Kompas.com pada tanggal 28 Juli 2014

Saya berpendapat bahwa harapan atas peluang gugatan yang disampaikan tersebut sangat tipis atau bahkan tidak ada sama sekali, mengapa?

Walaupun keberatan dalam bentuk melakukan gugatan merupakan hak konstitusional peserta pemilu, akan tetapi dalam pemilu presiden dengan puluhan / ratusan juta pemilih, kemungkinan untuk membatalkan hasil Pilpres tersebut akan berdampak pada pergolakan dan perpecahan di dalam masyarakat apalagi dengan selisih angka yang cukup signifikan. Efek inilah yang harus diwaspadai dan di jaga.

Efek yang saya maksudkan akan terjadi secara luar biasa dan pergolakan keras tersebut dapat membahayakan keutuhan bangsa. Dan saya meyakini ketika gugatan tersebut terbukti dan dibenarkan oleh MK, maka proses selanjutnya akan terjadi saling gugat tanpa akhir.

Dalam peperangan di dunia politik, segala cara akan ditempuh untuk mencapai tujuan. Bahkan dua orang dalam satu tempat tidur akan bisa saling jegal dalam proses politik. Itulah salah satu kengerian dalam dunia yang satu ini. Ada istilah kesehatan yang sering kita dengar yaitu "mencegah lebih baik dari pada mengobati", artinya : pencegahan cara-cara atau taktik politik lawan sangat lebih baik dari pada harus mengobati setelah terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan ketika kita bersaing dalam dunia politik, maka pencegahan adalah upaya untuk mengurangi dampak minus dari hasil akhir dalam proses politik.

" Penyakit HIV sampai saat ini tidak ada obatnya. Dan untuk itulah maka diperlukan pencegahan agar tidak terkena penyakit tersebut ".

Saya tidak mengatakan bahwa di kubu Jokowi-JK atau Panitia (KPU) benar-benar terjadi praktik politik seperti yang disampaikan oleh penggugat (Prabowo-Hatta), tetapi saya meyakini akan ada banyak pertimbangan besar jika sebuah keputusan di anulir kembali.

Ketika kita kalah, maka kita kalah dalam proses berpolitik. Dan dalam proses tersebut bukan pula berarti bahwa lawan lebih handal dari kita melainkan bisa pula bahwa Masyarakat Telah Lebih Baik Dalam Memilah / Memilih.

Artikel ini hanyalah sebatas pandangan pribadi penulis!
Apakah anda memiliki pandangan yang sama ataupun berbeda?

Comments

Popular posts from this blog

Ternyata Tak Semua Pejabat Takut dengan Media

Siapa yang tidak kenal Bolot. Salah satu pelawak terkenal Indonesia yang memerankan adegan lawak sebagai orang yang kurang awas pendengarannya. Ketika ia bertanya kepada pelawak lain, lalu di jawab oleh teman lawaknya, maka yang sering kita saksikan adalah pertanyaan tersebut kembali di ulang oleh Bolot. Akhirnya dalam adegan selanjutnya, lawan main si Bolot menjadi marah. Di sinilah letak nilai kelucuan dan keluguan Bolot yang melahirkan tawa dari para penonton. Inilah yang terjadi dalam dunia nyata ketika Wakil Gubernur DKI Jakarta kesal atas pertanyaan berulang-ulang dari seorang presenter salah satu televisi swasta di Indonesia. Ahok menganggap pertanyaan tersebut hanya menyita waktu aktivitas kerjanya sebagai abdi masyarakat. Tayangan acara interview yang telah diunggah ke situs youtube ini telah banyak di tonton dan di komentari oleh masyarakat pengguna internet. Kekesalan Ahok hampir mirip dengan adegan lawan main si Bolot dalam lawakannya. Salah satu media televisi ini

Benarkah Jokowi Effect Gagal?

Banyak lembaga menganalisa bahwa elektabilitas Jokowi yang dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ternyata tidak membawa efek yang signifikan terhadap perolehan Persentase Suara PDI-P secara nasional. PDI-P yang semula mengharapkan perolehan persentase suaranya diatas 20 persen (sekitar 27 persen) setelah menetapkan Jokowi sebagai Capresnya, ternyata menurut beberapa pengamat politik dan lembaga survey tidak memiliki efek yang signifikan walaupun PDI-P secara hitung cepat telah menang dengan perolehan suara pada kisaran 18 - 19 persen. Benarkah " Jokowi Effect " dinyatakan gagal ? Hari ini saya memiliki pandangan lain tentang Jokowi Effect tersebut. Dari sisi pandangan saya, Jokowi effect sebenarnya berhasil. Mengapa? Elektabilitas partai politik pada pemilu 2014 ini sebenarnya telah turun drastis setelah banyaknya anggota partai politik yang terkena kasus korupsi, tak terkecuali di tubuh PDI-Perjuangan. Tingkat kepercayaan masyarakat tu

Pro dan Kontra Rencana Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Mencuatnya usulan bahwa Pemilihan Kepala Daerah hanya akan di pilih oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saat ini ternyata bukan hanya sebatas isu belaka melainkan sedang dibahas oleh Panja RUU Pilkada dengan Kementrian Dalam Negeri. Usulan yang di dominasi oleh partai koalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP dan PAN) telah menuai banyak pro dan kontra baik di kalangan elit politik, pakar hukum, dan bahkan masyarakat. " Pemilihan Kepala Daerah secara demokrasi oleh seluruh warga negara di daerah sangat rentan dengan timbulnya konflik. Disamping itu Anggaran Dana untuk proses Pilkada langsung akan sangat besar dan tak dapat di pungkiri pula bahwa seorang calon kepala daerah akan mengeluarkan dana yang saya kira lima kali lebih besar ketimbang jika dilakukan dengan cara pemilihan oleh DPRD.".. Kalimat bercetak miring diatas merupakan alasan timbulnya pemikiran para elit partai politik yang berkoalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP dan PAN). Sebagai bagian