Skip to main content

Kritik bersolusi atau kritik tanpa solusi

Sidang sengketa pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi yang digelar beberapa waktu lalu secara terbuka ke publik dan dapat disaksikan oleh seluruh warga negara Indonesia menggunakan media televisi, kini telah usai. Kubu Prabowo-Hatta sebagai pemohon dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia sebagai termohon akhirnya harus bisa saling menerima keputusan dari sembilan orang hakim konstitusi. Gugatan Pemohon (Prabowo-Hatta) akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) seluruhnya dan ini berarti bahwa keputusan yang sudah dibuat oleh KPU Republik Indonesia bahwa Jokowi-Jusuf Kalla adalah sebagai pemenang dalam Pilpres tahun dua ribu empat belas dinyatakan sah.

Kekecewaan boleh saja dirasakan oleh mereka yang kalah. Akan tetapi kekecewaan mengatasnamakan rakyat menurut pendapat saya kuranglah etis. Produk pemilu sebenarnya adalah tentang siapa calon yang lebih banyak di sukai atau yang dinilai lebih baik dari calon lainnya terlepas dari cara-cara untuk mendapatkan banyaknya nilai atau angka seperti yang sudah saya tuliskan dalam artikel proses berpolitik.

Kini tugas kita adalah mengawal (memberi kritik, saran) dan mendukung tugas pemimpin yang baru agar benar-benar bekerja demi kepentingan bangsa dan negara. Akan lebih baik jika kita memberikan kritik yang membangun (kritik yang memiliki solusi) bagi pemimpin bangsa ini kedepan ketimbang menghadirkan kritik yang menjatuhkan (kritik tanpa solusi). Saya yakin seorang negarawan sejati adalah orang yang selalu menghadirkan kritik membangun yang didalam kritikannya terdapat solusi.

Comments

Popular posts from this blog

Ternyata Tak Semua Pejabat Takut dengan Media

Siapa yang tidak kenal Bolot. Salah satu pelawak terkenal Indonesia yang memerankan adegan lawak sebagai orang yang kurang awas pendengarannya. Ketika ia bertanya kepada pelawak lain, lalu di jawab oleh teman lawaknya, maka yang sering kita saksikan adalah pertanyaan tersebut kembali di ulang oleh Bolot. Akhirnya dalam adegan selanjutnya, lawan main si Bolot menjadi marah. Di sinilah letak nilai kelucuan dan keluguan Bolot yang melahirkan tawa dari para penonton. Inilah yang terjadi dalam dunia nyata ketika Wakil Gubernur DKI Jakarta kesal atas pertanyaan berulang-ulang dari seorang presenter salah satu televisi swasta di Indonesia. Ahok menganggap pertanyaan tersebut hanya menyita waktu aktivitas kerjanya sebagai abdi masyarakat. Tayangan acara interview yang telah diunggah ke situs youtube ini telah banyak di tonton dan di komentari oleh masyarakat pengguna internet. Kekesalan Ahok hampir mirip dengan adegan lawan main si Bolot dalam lawakannya. Salah satu media televisi ini

Benarkah Jokowi Effect Gagal?

Banyak lembaga menganalisa bahwa elektabilitas Jokowi yang dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ternyata tidak membawa efek yang signifikan terhadap perolehan Persentase Suara PDI-P secara nasional. PDI-P yang semula mengharapkan perolehan persentase suaranya diatas 20 persen (sekitar 27 persen) setelah menetapkan Jokowi sebagai Capresnya, ternyata menurut beberapa pengamat politik dan lembaga survey tidak memiliki efek yang signifikan walaupun PDI-P secara hitung cepat telah menang dengan perolehan suara pada kisaran 18 - 19 persen. Benarkah " Jokowi Effect " dinyatakan gagal ? Hari ini saya memiliki pandangan lain tentang Jokowi Effect tersebut. Dari sisi pandangan saya, Jokowi effect sebenarnya berhasil. Mengapa? Elektabilitas partai politik pada pemilu 2014 ini sebenarnya telah turun drastis setelah banyaknya anggota partai politik yang terkena kasus korupsi, tak terkecuali di tubuh PDI-Perjuangan. Tingkat kepercayaan masyarakat tu

Pro dan Kontra Rencana Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Mencuatnya usulan bahwa Pemilihan Kepala Daerah hanya akan di pilih oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saat ini ternyata bukan hanya sebatas isu belaka melainkan sedang dibahas oleh Panja RUU Pilkada dengan Kementrian Dalam Negeri. Usulan yang di dominasi oleh partai koalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP dan PAN) telah menuai banyak pro dan kontra baik di kalangan elit politik, pakar hukum, dan bahkan masyarakat. " Pemilihan Kepala Daerah secara demokrasi oleh seluruh warga negara di daerah sangat rentan dengan timbulnya konflik. Disamping itu Anggaran Dana untuk proses Pilkada langsung akan sangat besar dan tak dapat di pungkiri pula bahwa seorang calon kepala daerah akan mengeluarkan dana yang saya kira lima kali lebih besar ketimbang jika dilakukan dengan cara pemilihan oleh DPRD.".. Kalimat bercetak miring diatas merupakan alasan timbulnya pemikiran para elit partai politik yang berkoalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP dan PAN). Sebagai bagian